Rabu, 14 Desember 2011 di 19.23 Diposting oleh Kitaro 1 Comment

DAMAI: Masjid dan gereja dibangun berdekatan di satu lokasi di Desa Mopuya,Dumoga Utara, Bolmong. Bangunan ini telah ada sejak tahun 1973.

Warga Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow menjadi cermin betapa indahnya hidup damai. Masjid, gereja, pura telah puluhan tahun berdiri berdekatan tanpa saling mengusik satu sama lain. Malah tahun 1970 an, satu bangunan gantian dijadikan tempat beribadah.

Laporan Firman Tobeleu, Dumoga

Untuk mencapai Desa Mopuya, di utara Dumoga, butuh waktu hampir satu jam, dari pusat kota Kotamobagu. Letaknya cukup jauh sekira 40 km dari Kotamobagu jika menggunakan kendaraan darat. Saat memasuki desa ‘unik’ ini, tak ada kesan kalau di Mopuya, warganya memeluk satu agama besar. Nanti setelah berjalan lebih jauh ke desa, baru kelihatan kalau di Mopuya didiami pemeluk multi agama. Berdasarkan keterangan warga setempat, awal mulanya penduduk Mopuya terbentuk sekira September 1972, sebanyak 100 KK transmigran asal Bojonegoro dan Banyuwangi di Jawa Timur ditempatkan di Desa Mopuya Selatan, dan Kecamatan Dumoga Utara.

Semula tidak bisa dipercaya, karena letak masjid dibangun berdempetan dengan gereja. Di sisi kanan lahan seluas beberapa km2 berdiri dengan megah Masjid Al-Muhajirin, sementara di sisi lain adalah Gereja Masehi Injil Mopuya (GMIM), Pura yang lengkap dengan ukiran khas Bali, serta gereja Protestan lain seperti Advent dan Pantekosta, serta gereja Katolik bagi warga dari etnis Tionghoa. Rumah ibadah ini telah berdiri sejak 70-an. “Kalau terdengar ada kekisruhan, itu persoalan pekerja tambang, bukan masyarakat Dumoga,” kata I Ketut Gunawan, seorang pemuka agama Hindu di Dumoga.

Menurutnya, kerukunan yang terjalin di Dumoga sudah sangat mengakar, sehingga sulit untuk diuraikan. Apalagi, saat ini sudah banyak yang saling kawin mawin. “Kerukunan merupakan komitmen bersama. Alasannya, Dumoga tanah karunia yang diciptakan Tuhan dengan sangat subur. Karena itulah, setiap warga di Dumoga tidak ingin merusaknya,” ungkap Gunawan.


Saat Nyepi beberapa waktu lalu menjadi bukti kuatnya kerukunan di Dumoga. Umat Islam dan Kristen tidak memprotes pengalihan jalur kendaraan karena umat Hindu sedang merayakan Nyepi, “Justru mereka (Islam dan Kristen) turut membantu,” tambah I Ketut Warti.Jefri Tumelap, tokoh pemuda Kristen di Dumoga ikut bercerita pelaksanaan pengucapan syukur warga Dumoga. Semua warga turut bersama-sama merayakan syukuran, mengagungkan Tuhan yang sudah memberikan nikmat kepada warga Dumoga. “Kerukunan di Dumoga sudah menjadi budaya bahkan kebiasaan. Semuanya sama dalam keyakinan masing-masing,” ujar Jefri.


Demikian pula, bulan Ramadhan dan jelang lebaran. Dalam mempersiapkan lapangan untuk dipakai sholat idul fitri, umat Hindu dan Kristen turut membantu menyiapkan segala perlengkapan. “Membersihkan lapangan, memasang pagar, memasang janur dan sebagainya. Saling Bantu membantu juga sudah menjadi kebiasaan,” tutur Faisal, warga Mopuya.


Menurut sejarah, desa ini dulunya hutan belantara.Penduduknya kebanyakan pendatang. Oleh pemerintah setiap warga diberi rumah dengan tipe RSS. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka bercocok tanam jagung dan kedelai.


Setelah setahun lebih berada di sana, mereka mulai berpikir untuk memiliki rumah ibadah. Awalnya, tempat ibadah menggunakan gudang logistik tempat penyimpanan sembako milik Kanwil Transmigrasi. Warga bergotong-royong membersihkan gudang itu, baik Muslim maupun Nasrani. Di hari Jumat, tempat ini digunakan untuk shalat Jumat, dan di hari Minggu untuk kebaktian.


Selain orang Jawa, di Mopuya juga terdapat orang Bali. Orang-orang Bali mulai banyak ke luar daerahnya setelah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Di Dumoga, mereka tersebar di beberapa desa, termasuk Mopuya.


Ide awal membangun rumah ibadah masing-masing muncul dari Kanwil Transmigrasi. Dan pada tahun 1973, mulailah dibangun tempat-tempat ibadah. Masing-masing pemeluk agama mendapat 2.500 meter persegi. Untuk umat Islam ditambah 2.500 meter persegi lagi untuk membangun madrasah. Jadilah enam rumah ibadah: Masjid Jami’ Al-Muhajirin, GMIBM anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, dan Gereja Pantekosta.


Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa ini pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Sekira tahun 2000 an awal, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur Sulut EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khususnya komunitas Mopuya.



Artikel ini di kutip dari :
1. Manado Post
2. Majalah Tempo Online
Dan juga versi lengkapnya di Majalah Tempo.

Semoga dengan adanya artikel ini semua orang akan saling menghormati antara umat beragama, tak ada lagi kata permusuhan di antara kita.. karna "TORANG SAMUA BASUDARA (Kita Semua Bersaudara)" jadikan kota atau desa kita menjadi teladan seperti yang di tunjukkan di Desa Mopuya. SALAM DAMAI UNTUK INDONESIA KU

1 Response so far.

  1. nama mesjidnya sama tu kyk dideket rumah,,
    :D

Posting Komentar


Pilih Kualitas Suara: Kaskus Radio (32kbps) | Kaskus Radio (HQ) 
Prambors Powered by Kaskus Radio: Prambors 102.2 FM

Pop up Players:
Windows Media Player Real Player Winamp iTunes
96 kbps (Non Stop Hits)ONLY/No DJs):
Windows Media Player Real Player Winamp iTunes

Powered by The Fantasy Blog


    ShoutMix chat widget

    Inget Jam

    Labels

    Followers